Sang Murabbi, Perjalanan Dakwah KH. Rahmat Abdullah
Rahmat Abdullah telah pergi merengkuh takdir sejarahnya justru ketika dakwah ini sedang memasuki babak baru dengan tantangan-tantangan baru. Menghabiskan seluruh usia produktifnya dalam perjalanan dakwah, Rahmat Abdullah telah meninggalkan ruang kosong yang besar : simbol spiritualisme dakwah kita yang selalu menghadirkan cinta dalam semua kerja dakwah. Para pecinta adalah pemilik ruh yang lembut : lembut seluruh hidupnya, lembut cara perginya. (Anis Matta : Rahmat Abdullah Simbol Spiritualisme Dakwah Kita).
Rahmat Abdullah, yang
seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini,
meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari
sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga
dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan
Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak
lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta
kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam. Pada usia 11
tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah,
karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya
mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama
sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang
mesti ditanggungnya. Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang
cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap
tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai
sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu
masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar
langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi
mengaji (belajar membaca Al Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah,
akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil
terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan
sekolah dasar. Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya
diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat
masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema
dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai
aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai
angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30,
tepat saat shalat Jum’at. Karenanya pada permulaan tahun ajaran
berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah,
Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II
Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil
itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan
test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III. Permulaan belajar di
Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji
pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat
streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak
selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji
bersamanya. Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah
ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu
terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia,
yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran
inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba
kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan
informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi
sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk
membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi
orang-orang kaya zaman itu. Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di
Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh,
musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap
belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia
sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan
para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit
semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah
Syafi’i. Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di
Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat
inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan
mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun
dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk
memberikan pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan
berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian
bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia
kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater
bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya. Dari jerih
payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66 atau sering
disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak dan pikirannya
sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari KH. Abdullah
Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau
diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal
karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal. Namun hal itu tak
menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh
Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai
senang melahap berbagai buku dan pemikiran Islam seperti Hasan Al Banna,
Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto
dan M. Natsir. Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja
Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan
tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara.
Rahmat pun mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode
orasi yang ia ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta
sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan
lantang penggugah jiwa. Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran
tapi sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa
marah. Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan.
Sebagaimana saat mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta
kolega bisnisnya yang bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk
melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda malah menjawab, "Nabi saja bisa
meleset janjinya." Kontan mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari
ruangan samping dan langsung berucap, "Nabi yang mana janjinya tidak
tepat," Kopasanda itu malah menjawab, "Anda ndak usah ikut campur dengan
urusan ini." Rahmat remaja langsung menyambut, "Suara Bapak terdengar
di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang
mana yang ingkar janji itu," ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya
Kopasanda itu minta maaf. Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat
Abdullah muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena
caranya mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya
disakiti jagoan Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa
menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat
ditahan polisi. Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul
terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan
masjid Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia
saat ini-. Di tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan
puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara
teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang
terakhir kali ia pentaskan berjudul "Perang Yarmuk" yang tampil bersama
Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh
intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan
Suharto. Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap
KODIM. Namun Rahmat justru menjawab "Kalau yang memanggil Ibu, saya akan
datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan
pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya,"
ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat
panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis
di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling
‘memberangus’ sesama Muslim. Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah,
rupanya menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru
tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah
waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya
sudah memasuki tahun ke-32. Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H.
(1984 M), bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang
anak yang pernah menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di
kelas II MTs. Saat itu Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah
Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk
lomba praktik ibadah. Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga
Rahmat mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan
Rasululllah saw, seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, "Itu
tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan
(Ramadhan) ini." Akhirnya, disepakati untuk nikah besok malamnya, malam
Jum’at 15 Ramadhan. "Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje,"
ujar ustadz tadi. "Bah, ini rada-rada ketemu," ujar Rahmat muda dalam
hati. Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu,
masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, "Ini mau kemana sih?"
Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan
menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung
Periok, Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa
penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam. Pagi itu lelaki
yang sudah mulai akrab dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam
lainnya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Mendengar
peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan untuk selalu membawa
sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di Jawa. "Untuk
penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah,"
ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu. Setelah
menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga lahir
tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan
Nusaibatul Hima (15). Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung
dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia.
Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam
lainnya terus bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata.
Gerakan dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin
yang didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi
acuan kalangan muda saat itu Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama
menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya
bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka
penyadaran akan Islam dan mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru
inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses berbagai informasi tanpa
melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik, penceramah, Rahmat
merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan digemari kalangan
muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu harus dibredel di
saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun pembredelan
itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi dalam
dakwah. Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl.
Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda
Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun
1993 bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia
pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang
terletak di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Di sini pula ia menetap dan
memboyong keluarganya dari kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga,
Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa untuk berekspresi
mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik dan
kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir
anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan
Fakhrul Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan
pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan
syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di
kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas
subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di Iqro’. Bahkan,
kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun 1999 ia
diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan. Demikian
juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis
Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama
teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis. Pada
tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru dan
pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen.
Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan
Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah
mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai
Islam. Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal
dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang,
namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi
setiap kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia
sampaikan kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana
baru bagi para pemimpin negeri ini. Bahkan jabatan terakhir sebagai
Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia
emban dengan penuh amanah dan luapan semangat hingga akhir hayatnya saat
ia harus dijemput kematian sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan
penghambaan pada sang Khalik, Selasa (14/6). Sebuah harapan yang mungkin
telah engkau ungkapkan sepekan sebelum dirimu meninggal. Dimana tidak
biasanya dirimu ditegur isterimu ketika membuka album-album kenanganmu.
"Lihat nih, orang Betawi kini telah keliling dunia, ke Inggris, Jerman,
Belanda, Perancis, Amerika juga Makkah. Tinggal ke akheratnya saja yang
belum," ujarmu berseloroh yang kini telah kau buktikan. Selamat jalan
guruku, jejak langkah perjuanganmu akan kami teruskan. Sumber :
http://www.warisansangmurabbi.com/data/index.biografi.html
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Sang Murabbi Part 1
Sang Murabbi Part 2
Rahmat Abdullah, yang
seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini,
meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari
sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga
dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan
Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak
lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta
kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam. Pada usia 11
tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah,
karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya
mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama
sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang
mesti ditanggungnya. Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang
cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap
tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai
sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu
masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar
langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi
mengaji (belajar membaca Al Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah,
akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil
terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan
sekolah dasar. Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya
diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat
masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema
dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai
aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai
angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30,
tepat saat shalat Jum’at. Karenanya pada permulaan tahun ajaran
berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah,
Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II
Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil
itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan
test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III. Permulaan belajar di
Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji
pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat
streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak
selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji
bersamanya. Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah
ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu
terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia,
yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran
inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba
kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan
informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi
sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk
membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi
orang-orang kaya zaman itu. Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di
Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh,
musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap
belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia
sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan
para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit
semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah
Syafi’i. Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di
Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat
inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan
mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun
dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk
memberikan pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan
berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian
bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia
kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater
bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya. Dari jerih
payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66 atau sering
disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak dan pikirannya
sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari KH. Abdullah
Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau
diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal
karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal. Namun hal itu tak
menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh
Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai
senang melahap berbagai buku dan pemikiran Islam seperti Hasan Al Banna,
Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto
dan M. Natsir. Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja
Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan
tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara.
Rahmat pun mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode
orasi yang ia ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta
sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan
lantang penggugah jiwa. Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran
tapi sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa
marah. Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan.
Sebagaimana saat mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta
kolega bisnisnya yang bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk
melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda malah menjawab, "Nabi saja bisa
meleset janjinya." Kontan mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari
ruangan samping dan langsung berucap, "Nabi yang mana janjinya tidak
tepat," Kopasanda itu malah menjawab, "Anda ndak usah ikut campur dengan
urusan ini." Rahmat remaja langsung menyambut, "Suara Bapak terdengar
di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang
mana yang ingkar janji itu," ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya
Kopasanda itu minta maaf. Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat
Abdullah muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena
caranya mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya
disakiti jagoan Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa
menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat
ditahan polisi. Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul
terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan
masjid Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia
saat ini-. Di tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan
puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara
teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang
terakhir kali ia pentaskan berjudul "Perang Yarmuk" yang tampil bersama
Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh
intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan
Suharto. Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap
KODIM. Namun Rahmat justru menjawab "Kalau yang memanggil Ibu, saya akan
datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan
pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya,"
ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat
panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis
di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling
‘memberangus’ sesama Muslim. Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah,
rupanya menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru
tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah
waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya
sudah memasuki tahun ke-32. Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H.
(1984 M), bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang
anak yang pernah menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di
kelas II MTs. Saat itu Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah
Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk
lomba praktik ibadah. Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga
Rahmat mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan
Rasululllah saw, seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, "Itu
tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan
(Ramadhan) ini." Akhirnya, disepakati untuk nikah besok malamnya, malam
Jum’at 15 Ramadhan. "Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje,"
ujar ustadz tadi. "Bah, ini rada-rada ketemu," ujar Rahmat muda dalam
hati. Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu,
masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, "Ini mau kemana sih?"
Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan
menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung
Periok, Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa
penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam. Pagi itu lelaki
yang sudah mulai akrab dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam
lainnya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Mendengar
peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan untuk selalu membawa
sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di Jawa. "Untuk
penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah,"
ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu. Setelah
menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga lahir
tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan
Nusaibatul Hima (15). Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung
dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia.
Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam
lainnya terus bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata.
Gerakan dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin
yang didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi
acuan kalangan muda saat itu Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama
menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya
bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka
penyadaran akan Islam dan mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru
inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses berbagai informasi tanpa
melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik, penceramah, Rahmat
merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan digemari kalangan
muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu harus dibredel di
saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun pembredelan
itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi dalam
dakwah. Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl.
Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda
Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun
1993 bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia
pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang
terletak di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Di sini pula ia menetap dan
memboyong keluarganya dari kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga,
Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa untuk berekspresi
mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik dan
kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir
anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan
Fakhrul Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan
pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan
syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di
kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas
subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di Iqro’. Bahkan,
kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun 1999 ia
diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan. Demikian
juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis
Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama
teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis. Pada
tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru dan
pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen.
Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan
Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah
mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai
Islam. Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal
dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang,
namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi
setiap kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia
sampaikan kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana
baru bagi para pemimpin negeri ini. Bahkan jabatan terakhir sebagai
Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia
emban dengan penuh amanah dan luapan semangat hingga akhir hayatnya saat
ia harus dijemput kematian sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan
penghambaan pada sang Khalik, Selasa (14/6). Sebuah harapan yang mungkin
telah engkau ungkapkan sepekan sebelum dirimu meninggal. Dimana tidak
biasanya dirimu ditegur isterimu ketika membuka album-album kenanganmu.
"Lihat nih, orang Betawi kini telah keliling dunia, ke Inggris, Jerman,
Belanda, Perancis, Amerika juga Makkah. Tinggal ke akheratnya saja yang
belum," ujarmu berseloroh yang kini telah kau buktikan. Selamat jalan
guruku, jejak langkah perjuanganmu akan kami teruskan. Sumber :
http://www.warisansangmurabbi.com/data/index.biografi.html
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
No comments:
Post a Comment